Baru saja saya menyelesaikan perjalanan
dari Kota Malang menuju Surakarta alias Solo menggunakan sepeda motor.
Banyak hal yang bisa saya amati dari perjalanan yang memakan waktu
perjalanan total +/- 6,5 jam. Kalau ditambah mampir-mampir, total
perjalanan saya jadi 28 jam.
Saya memulai perjalanan dari rumah
kontrakan di kawasan utara Kabupaten Malang, Rabu, 30 Desember 2015
pukul 10.00 WIB. Saya berangkat menuju Solo melalui Karangploso, tembus
ke Batu, Pujon, Ngantang, Kasembon, Pare, Kediri, Kertosono dan Nganjuk.
Ya, tujuan akhir di hari pertama adalah Nganjuk. Disana kami berdua
mencoba menghubungi teman satu kontrakan lama saya yang kini tinggal di
Nganjuk. Tujuan tulisan ini, bukan untuk menceritakan kisah pribadi saya
selama berada di Nganjuk, melainkan apa yang saya amati selama
perjalanan menuju Solo.
Keinginan saya untuk menulis artikel ini
muncul, di saat saya menaiki tambangan menuju Kertosono. Tambangan
adalah istilah orang sana untuk menyebut transportasi getek yang
digunakan masyarakat setempat untuk membawa pengendara sepeda motor
menyeberangi sungai Brantas. Tarif yang ditarik hanya Rp 3.000 untuk
setiap sepeda motor. Jujur, tarif itu jelas terbilang murah untuk
kantong mahasiswa seperti saya. Dibandingkan harus menghabiskan waktu
dua kali lipat bila mengambil jalan memutar melalui Baron, tambangan
adalah pilihan tepat untuk menuju Nganjuk dengan waktu yang lebih cepat.
Kesan pertama yang saya terima saat
menaiki Tambangan: tradisional. Ya, entah sejak kapan Tambangan itu ada,
namun saya pikir sensasinya akan selalu sama. Menyeberang sungai
Brantas dari timur ke barat, dengan arus sungai deras menuju utara, itu
adalah hal yang amat mengesankan. Masyarakat setempat, cukup cerdas
untuk memanfaatkan keterbatasan akses menuju Nganjuk dengan menyediakan
Tambangan.
Sayangnya ada satu hal yang mengganggu
pengamatan saya selama berada di atas perahu kayu itu, yakni keberadaan
jembatan yang masih dalam proses pembangunan. Menurut saya, keberadaan
jembatan tersebut memang efektif dan efisien. Namun, ada hal yang
mengganjal melihat keberadaan pembangunan tersebut.
Pertama, keberadaan jembatan itu tentunya
akan membuat nasib para pelaku usaha Tambangan menggantung. Mereka bisa
saja tetap menyediakan fasilitas Tambangan untuk sepeda motor
menyeberang, namun apakah penggunanya akan seramai sebelum ada jembatan?
Saya kira tidak.
Namun, dengan pembangunan jembatan itu
ada hal lain yang mungkin akan muncul. Ketersediaan akses menuju pusat
kota Nganjuk beberapa desa di Kertosono, berbanding lurus dengan
peningkatan ekonomi di sana. Saat ini, boleh saja daerah tersebut masih
dipenuhi sawah-sawah. Tapi, saya berani taruhan dalam waktu 5-10 tahun
ke depan, ruko-ruko akan tumbuh dengan lebat. Artinya, pola kehidupan
ekonomi di daerah tersebut akan menuju kawasan industri. Kalau Cak Nur
atau Nurcholis Madjid menyebut, perubahan desa ke arah kota mampu
merubah pola kehidupan Paguyuban menjadi Patembayan milik Ferdinand
Toonies. Di materi-materi sosiologi-antropologi-psikologi, kehidupan
Patembayan membuat individu-individu dalam sebuah masyarakat menjadi
lebih individualis. Sebuah penelitian juga menyebut kalau faktor
kolektivitas individu akan berkurang seiring dengan perubahan struktur
masyarakat, dari masyarakat desa menuju masyarakat kota. Dari sini,
pemikiran saya agak galau, mana yang harus diutamakan, gotong royong
dari sebuah fasilitas Tambangan atau pembangunan menuju daerah industri
yang otomatis mengurangi kolektivitas masyarakat.
Kedua, pikiran saya terganggu ketika
belum sampai satu kilometer dari Tambangan, saya melihat ada proses
pembangunan Ruko. Jembatan belum jadi, tapi Ruko sudah mulai terbangun,
yang benar saja? “Bagaimana nanti kalau jembatan sudah jadi” ucap saya
kepada Henry saat itu.
Pembangunan Ruko ini juga membuat saya
khawatir. Sebab, boleh saja akses ke desa-desa yang dilalui nanti
berkembang menjadi kawasan industri, namun apakah kawasan industri itu
akan dikuasai masyarakat setempat? Atau justru para pemilik modal dari
luar kota yang justru lebih berhasrat untuk mendirikan pertokoan di
sana? Kalau opsi kedua yang terjadi, maka habislah sudah. Nasib
masyarakat setempat sedikit banyak akan mirip dengan nasib pemilik
kost-kostan di daerah Kerto-Kertoan (Mahasiswa Malang pasti tahu).
Kost-kostannya kecil, lembab dan berdempet-dempetan. Berbeda dengan di
bagian lainnya, seperti Watugong, Watumujur, ataupun Soekarno Hatta.
Kost-kostannya besar-besar, harganya melangit, namun yang punya orang
luar Malang, bahkan ada yang luar pulau Jawa. Lagi, ini jadi pertanyaan
sekaligus kekhawatiran saya terhadap masyarakat di desa-desa tersebut.
Saya harap, ada orang-orang pribumi setempat yang terpelajar berniat
untuk menjawab tantangan tersebut.
Terakhir, saya simpulkan bahwa sensai
naik Tambangan tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Merasakan goyangan
getek yang berlayar tak searah dengan arus sungai, membuat saya hanya
tertegun diam, sambil sesekali menghisap batang rokok berinisial U.
sediksi.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar